Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung kembali menunjukkan komitmennya dalam menciptakan kota yang aman dan inklusif bagi semua warganya, khususnya perempuan dan anak.
Hal ini diwujudkan melalui peluncuran program Sekolah dan Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak (Senandung Perdana) di Kecamatan Kiaracondong pada Selasa, 5 Agustus 2025.
Wakil Wali Kota Bandung, Erwin mengatakan, Kota Bandung dengan jumlah penduduk hampir 2,6 juta jiwa yang mayoritasnya adalah perempuan dan anak sangat membutuhkan pendekatan yang sistematis dan kolaboratif dalam perlindungan kelompok rentan.
“Program ini menjadi penguat dari visi kita untuk mewujudkan kota yang ramah perempuan dan anak. Perlindungan bukan hanya program tahunan, tapi harus menjadi bagian dari tata kelola pemerintahan yang inklusif dan adil,” jelas Erwin.
Senandung Perdana berfokus pada perlindungan berbasis wilayah terkecil, yakni kelurahan. Program ini membentuk Kelurahan Ramah Perempuan dan Anak dengan lima pilar utama:
1. Pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan, termasuk pelatihan UMKM di tingkat lokal.
2. Penguatan peran keluarga, mulai dari pola pengasuhan, pendidikan nilai, hingga etika berbusana.
3. Penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk pengawasan dan pelatihan bagi guru, ustaz, dan tokoh masyarakat.
4. Pencegahan pernikahan usia anak, dengan pendekatan edukatif kepada remaja dan orang tua.
5. Penghapusan pekerja anak, demi memastikan setiap anak memperoleh hak pendidikan yang layak.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Peran masyarakat, RT-RW, PKK, tokoh agama, hingga karang taruna sangat penting dalam memastikan perlindungan ini bisa terasa hingga ke rumah-rumah,” kata Erwin.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung, Uum Sumiyati menjelaskan, Senandung Perdana merupakan hasil penguatan dari strategi lintas sektor yang telah berjalan sejak 2024.
“Tahun lalu kita mulai di 10 kelurahan. Tahun ini, program kami perluas ke 30 kecamatan di Kota Bandung. Ini bukan sekadar edukasi, tapi juga pelayanan konkret bagi warga,” ungkapnya.
Menurut Uum, program ini tidak hanya mendorong pencegahan kekerasan, tetapi juga memberikan layanan langsung bagi korban. Pihaknya telah bekerja sama dengan Dinas Kesehatan dan RSUD Bandung Kiwari dan RSUD Ujungberung untuk penanganan korban kekerasan secara gratis.
“Jadi warga yang menjadi korban kekerasan tidak perlu takut biaya. Semua sudah kita tanggung melalui mekanisme layanan terpadu,” kata Uum.
Untuk menjangkau wilayah yang lebih luas dan kasus yang tidak terlaporkan, DP3A juga mengoperasikan mobil layanan keliling yang dilengkapi dengan tenaga psikolog dan konselor.
Tak hanya itu, Senandung Perdana juga melibatkan kolaborasi dengan satuan pendidikan dan lembaga keagamaan. Hal ini dilakukan karena banyak kasus kekerasan terhadap anak terjadi di sekolah dan bahkan tempat ibadah.
“Kami sudah mulai kerja sama dengan sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, dan juga masjid serta majelis taklim. Perlindungan harus dimulai dari lingkungan yang paling dekat dengan anak,” ujar Uum.
Kepala DP3A juga menegaskan, keberlanjutan program ini bukan hanya urusan pemerintah, melainkan seluruh warga kota.
“Kita ingin menjadikan perlindungan perempuan dan anak sebagai gerakan bersama. Setiap kelurahan akan jadi pusat kekuatan untuk menciptakan Bandung yang aman, sehat, dan penuh kasih,” pungkas Uum.
Senandung Perdana menjadi simbol nyata bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak bukan hanya wacana, tetapi kerja nyata yang dimulai dari tingkat paling dasar yaitu keluarga, sekolah, dan komunitas. (dskoinf.bdg)
0 Komentar